Aku Menyesal
Kuseret kakiku perlahan… Dengan
langkah gontai… Seseorang menyapaku, ku angkat kepala bulatku yang kutundukkan
tadi. Tersenyum sekilas dan menundukkan kepalaku kembali. Serasa tidak ingin pulang,
masih ingin tinggal di kampus… Aku bisa tenang di kampus. Bukan di rumah. Di
rumah aku hanya bisa membuat kasurku basah dan menahan sesak didadaku. Dadaku
terlalu sesak berjalan di sekitar rumah. Aku lebih sering berdiam diri di kasur
persegiku. Membolak balikkan novel perlahan, mengotak-atik ponsel.
OOOOO
“Bella !” Seseorang berseru
kepadaku… Kuangkat wajahku dan kutatap seorang laki-laki panjang yang diikat
ekor kuda berlari ke arahku. Dia tersenyum manis. Aku membalas senyumannya.
Bokong laki-laki itu sekarang tersentuh kayu panjang di sebelahku.
“Ada apa ?” Tanyaku kepada
laki-laki itu. Laki-laki berambut panjang itulah yang menemani masa-masa
suramku. Tetapi kami hanya bersahabat dan tidak ada yang istimewa didalam
hubungan kami.
“Bagaimana keadaan nerakamu ?”
Tempat itu adalah rumahku
sendiri. Walau tumah itu mewah, indah dan besar, aku tak pernah menggangap itu
rumah. Bagaimana dapat kuanggap rumah jika tidak ada penghuninya ?
Tetapi tidak-apa aku memang
lebih senang tidak ada penghuni. Dari pada ada penghuni yang membuatku
meneteskan titik – titik air yang tidak berdosa dan indah mengalir jatuh.
Setiap hari otang tuaku pulang
lewat dari sore hari, dan lewat dari jam sembilan malam. Dan jika belum
mendapati kamar besarku gelap gulita, mereka akan masuk dengan membanting pintu
dan mengambil apapun yang membuatku tidak ingin menutup mata.
“Seperti biasa, tidak akan ada
yang pernah berubah di neraka busuk itu” Aku berhenti melamun. Aku menatap laki
– laki itu, laki – laki itu tersenyum polos. Aku dan laki – laki itu selalu
berbeda pendapat tentang ini. Ia selalu saja mengatakan orang tuaku seperti ini
pasti ada alasan di balik semua ini.
Laki-laki tampan sebelahku ini
bukanlah laki-lakiku. Ia hanya sahabatku karibku. Sebenarnya masih banyak
sahabat karibku, hanya saja aku paling dekat dengannya. Aku tahu ia menyukaiku,
karena ia pernah menyatakan perasaannya kepadaku, hanya saja, aku tidak ingin
seseorang menemaniku pada masa-masa suramku yang sial ini.
“Kau tahu pasti aku akan
menjawab apa. Dan aku yaking kau tak ingin mendengarnya lagi” Kata laki-laki
tampan itu.
Aku menoleh kearahnya. Ia
tersenyum kecil. Aku mendengus kesal. “Tentu saja. Jangan mengatakannya lagi,
kalau tidak aku akan mencekikmu” Aku yakin. Setibu persen, bahkan seratus
persen, ia pasti akan mengatakan itu tidak seperti yang kukira. Orangtuaku
pasti ada alasan di dalam itu.
“Kau mau pulang ?” Tanya
laki-laki tampan, Rendy
“Apakah ada tempat lain yang
bisa kita tuju ? Kau tahu benar aku benci rumahku sendiri” Kataku menatap
langit biru.
“Tentu saja aku tahu. Setiap
harinya juga kita sudah mengelili kota kecil ini” Kata Rendy melihat sekeliling
tempat duduk kami.
Benar, setiap hari kami sudah
mengelilingi kota kecil ini. Aku sudah sangat bosan. Tetapi jauh lebih bosan di
neraka sial itu. Aku menyerah kali ini, aku akan pergi kerumah dan mengunci diri
di dalam kamar besarku. Kamarku memang besar, segalanya sudah ada di dalam
sana. Aku tinggal memilih apa yang ingin ku lakukan. Laptop, computer, psp, NDX,
alat-alat make up, boneka, manusia Barbie dan pakaian-pakaiannya, rak buku
besar dan tinggi, novel, buku pelajaran, buku cerita, kumpulan cerpen, alat
olah raga, lemari perhiasan, kulkas dengan berbagai makanan dan minuman,
plastisin lembut dengan berbagai warna, berbagai film-film barat dan drama
Cina, Taiwan, Korea, dan berbagai macam kaos, celana jeans, pakaian ribet, rok,
gaun-gaun ribet, meja besar dan kursi-kursi imut di tengah-tengah kamar, meja
kaca untuk make-up, dan kursi untuk me-make-up, tempat tidur besar, dan laci
kecil di kiri kanan kasur, alat musik piano, gitar, biola,
Pasti tidak dapat membayangkan
bagaimana besarnya kamarku. Kalau kalian bermain basket, mungkin sebesar gor
basket kamarku. Dengan kamar kecil seperempat dari kamar besarku.
“Kau melamun lagi. Jadi kita
akan kemana hari ini ?” Suara laki-laki membuyarkan lamunanku,
Aku menoleh sejenak. “Aku akan
tinggal di rumah saja. Kurasa memang tidak ada tempat yang bisa kita kunjungi
lagi”
“Baiklah, ingin ku antarkan
pulang ?” Rendy mulai berdiri dan menggosok pantatnya dengan pelan.
“Tentu saja. Ayo kita pulang” Akupun mulai berdiri dan menggambil
tas.
Aku dan Rendy mulai berjalan.
Rendy membawa sepeda motor. Ia memboncengkku. Setelah lima menit kemudian, aku
sudah sampai di depan nerakaku. Rendy mengucapkan selamat tinggal. Aku
mendengus nafas berat. Berjalan perlahan menelusuri jalan terang. Melihat pintu
biru. Aku membuka pintunya. Sebelum aku berjalan memasukki kamar itu, seseorang
berseru kepadaku.
“Dek Bella udah pulang ? Mau
bibi siapin apa ?” Kata seorang perempuan setengah baya yang sedikit gemuk.
Aku menoleh. “Teserahlah bi.
Yang penting bisa di makan” Aku mulai memasuki kamar luas dan besar itu.
Berjalan maju ke depan. Menatap benda hitam mesar. Dan membuka tutup tuts tuts
piano. Aku mulai bermain piano dan menekan beberapa tuts dengan lancar.
Orangtuaku tidak akan marah jika aku memainkan piano di malam hari, dan ia
tidak akan mungkin manggambil / membuang piano yang sedang ku mainkan.
Aku menutup mata dan menikmati
irama yang terdengar di sudut-sudut kamatku yang besar. Aku berhenti menekan
tuts tuts piano. Ada yang mengetuk pintu, pikirku dalam hati.
“Dek, makanannya sudah siap,
mau bibi letakkan di depan pintu atau bibi masuk ke kamarmu ?” Ooh, bibi Choi.
“Ya bi. Masuk lah” Aku berdiri
berjalan menuju arah pintu. Ku buka pintu tuh dan wanita setengah baya menyodorkan
papan yang di atasnya terdapat piring nasi campur, mangkok berisi sup jamur,
gelas berisi cairan warna merah pekat.
“Itu apa ?” Tanya ku menunjuk
kerah gelas bersiri cairan merah pekat itu.
“Terong Belanda. Ibumu
menyuruhmu meminum ini untuk minuman siang” Bi Choi tersenyum.
“Ibu ? Yang benar aja dia
peduli kesehatanku” Aku gelas berisi jus itu dan melemparnya mengenai dinding
di sebelah pintuku. Gelas itu pecah. Aku mengambil papan itu, bi Choi menunduk
sedikit kearahku.
Cairan merah yang mengenai dinding putih
itu pasti susah hilang, setelah ibuku pulang, dia pasti akan mengoceh dan mulai
memarahiku. Aku hanya bisa pura-pura tidak dengar / mulai menekan tuts-tuts
piano dengan keras.
Ku letakkan makananku dengan kasar di meja
tengah. Mengambil Speaker dan membuka lagu dengan volume paling keras. Melompat
menuju ranjang besarku dan melenyapkan badanku di dalam selimut.
OOOOO
“Ahh… Aku ketiduran. Jam berapa ini”
Gumamku ketika selesai membuka mataku.
Aku membuka dan menggangkat wajah dengan
susahnya. Menatap jam dinding yang ada di kamarku. Jam itu menunjukkan jam
18.00. Berarti jam enam sore.
Seseorang menyerbu kamarku dan mulai
berteriak-teriak. “Kau ini ! Dirumah kerjanya tidur saja ! Ayahmu akan bertemu
dengan seseorang yang penting hari ini ! Kau malah tidur ! Ganti pakaianmu !
Awas kalau berani pakai kaos dan jeans, dan jangan pernah biarkan warna gaunmu
hitam !” Perempuan itu langsung menutup pintuku dengan keras.
Nenek lampir pemilik neraka ini menyuruhku
memakai gaun tidak warna hitam ? Aku akan memakai warna putih. Beres. Jika aku
turun tidak memakai make-up ia pasti akan memarahiku. Aku akan memakai make-up
polos dan mengecat kukuku dengan warna bening.
Aku beranjak dari tempat tidur dan memilih
gaun putih. Memakainya dan menatap cermin. Mulai me-make-up wajahku dengan
polos. Makai lip-gloss bening, dan mulai mengecat kukuku dengan warna bening.
Beres.
Aku keluar dan berlari kecil kebawah.
Banyak sekali orang di sini. Perempuan semua memakai gaun-gaun, sedang
berbicara dan memegang segelas minuman. Laki-laki memakai kemeja dengan jass,
dasi di keranya, dan tak lupa segelas minuman. Aku yang binggung pun belum mau
turun kebawah.
Ku pandangi sekitar, mataku berhenti di
laki-laki dengan kemeja putih, dasi hitam, dan seperti pakaian dalam hitam, dan
jass putih dan memegang cairan berwarna merah. Laki-laki itu, bukannya ? Rendy
?
Untuk apa ia di sini ? Ia mengenal
keluargaku ? Banyak sekali pertanyaan yang terbesit di kepalaku. Pada saat
ingin turun ke bawah dan menyapa Rendy, aku baru sadar kalau aku belum memakai
sandal. Aku berlari kembali ke kamar ku dan mengambil high-heels 10cm berwarna
putih dan memakainya. Aku berjalan ke bawah.
Berlari ke arah Rendy dan menyapanya. “Hei,
Rendy, apa yang kau lakukan di sini ?”
“Aku ? Orang tua mu belum memberitaumu ?
Wah.. Orang tua mu sangat penuh rahasia” Kata Rendy tertawa.
Aku memandangnya kebinggungan. “Apa
maksudmu ? Orangtua ku membunyikan apa ?”
“Banyak. Salah satunya, kau akan di
jodohkan denganku hari ini” Rendy tersenyum kecil.
Aku yang binggung pun berlari mencari kedua
orang tuaku. Ku tatap mereka yang sedang tertawa sambil meneguk gelas berisi
bir. “Apa-apaan ini ? Bagaimana bisa kalian mengenal Rendy ?”
Mereka tersenyum tipis. “Kau sudah berganti
pakaianmu. Ayok kita mulai”
Aku menatap mereka dengan penuh kekesalan.
“Aku masih kuliah ! Jangan berpikir aku ingin bertunangan secepat ini !” Aku
berlari naik ke kamar.
Aku mengunci pintuku dan melepaskan
high-heels. Berjalan ke depan, menatap benda besar hitam. Membuka tutupnya dan
duduk. Aku menekan tuts-tutusnya dan mulai bermain. Lagu yang kumainkan kali
ini lagu yang kususun sendiri, memang belum ku buat judulnya. Tapi menurutku
ini sudah cukup. Iramanya akan kubuat hidup.
Aku mulai bermain. Aku seperti hanya
mendengar satu suara di rumah ini. Hanya suara irama hidup yang ku mainkan ini…
Lagunya segera berakhir. Aku mulai menekan
tuts-tuts terakhir…
Kudengar suara tepuk tangan. Banyak sekali
yang tepuk tangan. Tapi siapa ? Lalu suara ketukan pintu yang keras.
Aku berdiri dan berlari ke arah pintu dan
mulai memutar kunci dan membukanya. Rendy masuk dan langsung mengoceh panjang
lebar. Ntah apa yang dibicarakan pun aku tak tau. Yang jelas, bibirnya
terbentuk senyum bahagia.
“Pelan-pelan. Apa yang ingin kau bicarakan
?”
“Permainan pianomu sungguh indah ! Aku
belum pernah mendengar irama itu. Dan irama itu hidup !”
OOOOO
“Hei, Bella ! Kau mau kemana ?” Seru Rendy berlari
kecil mengejarku. Ia menahan lenganku dengan erat. Aku menoleh kearahnya dengan
kesal.
“Kau sudah tau semuanya kan ? Kau sudah tau
tentang orangtuaku akan meninggalkan aku dengan bibi Choi ? Kenapa kau tak
memberi tauku tentang itu ? Kenapa ? Jadi orangtuaku ingin aku segera menikah
denganmu karena ia akan pergi ? Lau jahat Rendy, kau jahat! Brengsek!” Aku
membentaknya dengan keras, memukul dadanya dan berjalan ke depan dengan muka
expresi kesal.
Seseorang menyentuh tanganku dan itu pasti
Rendy. Ia kembali menahan tanganku. Dengan sentakkan keras aku melepaskan
gemgamannya. Aku kembali berjalan kedepan.
Seseorang menarik tangan tanganku dan
menetapkan tubuhku di dalam pelukkannya. Pipiku berada di dadanya. Dan itu
Rendy. Jantungku bergerak dua kali lebih cepat. Apa yang terjadi padaku ? Dia
memelukku dan mengelus kepalaku dengan pelan, berkali-kali.
“Aku memang tau semuanya, Bella. Orangtuamu
melarangku untuk memberi tahu mu tentang penyakit ayahmu. Mereka terus-terusan
mencari uang selama ini hanya untuk masa depanmu. Dan, mereka tau bahwa aku
mengenalmu dan mengenal dekat denganmu. Dan juga… Mereka tau aku mencintaimu.
Kami, maksudku aku dan orangtuamu, saling berkenalan selama 6 bulan. Mereka
mempercayaiku untuk merawatmu. Mereka juga memberi tauku tentang penyakit
ayahmu. Tentang waktu hidup ayahmu tidak akan lama lagi, tentang mereka akan
menitipkanmu dengan bibi Choi jika kau masih tidak ingin menikah deenganku
dalam waktu cepat” Rendy mengatakannya sambil mengelus.
Aku menangis dipelukannya…
Satu
minggu yang lalu. Tepat empat hari setelah acara pertunanganku dengan Rendy.
Aku menerima tentang pertunangannya, karena bagiku, pertunangan bukan sesuatu
yang buruk.
Orangtuaku,
saat aku sedang berbicara dengan Rendy dan dengan mereka tentang pernikahanku,
aku berusaha menolak. Bagaimana mungkin mereka menyuruhku menikah dengan Rendy
lima hari setelah hari pertunangan kami ?
Keesokkan
harinya, pada saat mereka ingin meyakinkanku untuk segera menikah dengan Rendy,
aku bersikeras menolaknya. Tiba-tiba ayahku memegang kepalanya dengan keras.
Ibuku segera menelepon rumahsakit dan mendatangkan seorang laki-laki tua. Saat
itu pula dokter mengabarkan ayahku tidak dapat diselamatkan. Ternyata ayahku
mengalami kanker otak. Ia berusaha keras untuk bekerja dan mencari uang
untukku.
Dan
ibuku… Ia malah mengatakan kepadaku bahwa ibuu dan ayahku telah bercerai. Hanya
masih tinggal satu atap. Sekarang ibuku malah sudah pergi ke luar kota dan
kabarnya ia sudah menikah. Benar-benar, bagaimana dapat kupanggil ia ibu lagi ?
Dan
sekarang aku sendiri dengan bibi Choi yang menemaniku. Aku menemukan surat yang
ditulis tangan oleh ayahku sendiri. Surat itu masihku simpan sampai sekarang.
Aku bahkan belum mendapati kertas itu kotor. Aku tidak ingin membuat kertas itu
kotor.
Dalam
surat itu, isinya : Bella, ayah pasti yakin kamu membenci ayah. Ayah juga
membenci diri ayah sendiri. Memarahi kamu setiap hari. Ayah minta maaf karena
tidak menceritakan semuanya tentangmu. Dan juga tentang ibumu, ibumu, ia
memilih laki-laki lain di banding ayah. Ayah sangat kesepian. Tapi kamu pasti
tidak akan bersedia menemani ayah. Ayah minta maaf karena ketidakpedulian ayah
denganmu. Sebenarnya ayah peduli, hanya saja, ayah terlalu bekerja keras untuk
masa depanmu. Andai saja kanker otak ini tidak ada, kamu pasti akan hidup
bahagia dengan ayah.
Ayah
kecewa dengan ibumu yang membutuhkan uang ayah. Mungkin ketika kamu membaca
surat ini, ayah udah pergi selamanya dari kehidupanmu. Ayah ingin kamu cepat
menikah agar ayah dapat melihat anak ayah menikah dengan mata kepala ayah
sendiri. Tapi kamu sendiri bersikeras untuk menolak pernikahan itu. Memang
konyol karena tergesa-gesa. Dokter memvonis ayah lebih cepat dari yang ayah
duga.
Tuhan
berkehendak lain tentang kanker otak ayah. Ayah ingin sembuh tetapi Tuhan tidak
memperbolehkan. Ayah mencintaimu dan ibumu. Jangan meangis karena ayah, tapi
karena ayahlah kamu tersenyum. Jangan benci ayah lagi ya…
Itulah kata-kata terakhir dari ayahku. Aku
berencana mencari perempuan yang lebih memilih laki-laki lain dibanding ayahku.
Tapi sepertinya ia bersembunyi dariku.
Sekarang hanya sepucuk surat itu yang
tersisa dari tulisan tangan ayahku. Aku mencoba bersabar menghadapi segala hal
disekitarku.
“Bella, ayo kita pulang sekarang.
Berhentilah menangis” Suara Rendy menyentakkanku. Ia melepas pelukan dan
merangkulku berjalan kearah motornya. Ia mengantarku pulang dan ia tidak
pulang. Ia tinggal di sana, mulai dari sekarang dan selamanya.