Sabtu, 06 Oktober 2012

Aku Menyesal

Kuseret kakiku perlahan… Dengan langkah gontai… Seseorang menyapaku, ku angkat kepala bulatku yang kutundukkan tadi. Tersenyum sekilas dan menundukkan kepalaku kembali. Serasa tidak ingin pulang, masih ingin tinggal di kampus… Aku bisa tenang di kampus. Bukan di rumah. Di rumah aku hanya bisa membuat kasurku basah dan menahan sesak didadaku. Dadaku terlalu sesak berjalan di sekitar rumah. Aku lebih sering berdiam diri di kasur persegiku. Membolak balikkan novel perlahan, mengotak-atik ponsel.

OOOOO

“Bella !” Seseorang berseru kepadaku… Kuangkat wajahku dan kutatap seorang laki-laki panjang yang diikat ekor kuda berlari ke arahku. Dia tersenyum manis. Aku membalas senyumannya. Bokong laki-laki itu sekarang tersentuh kayu panjang di sebelahku.
“Ada apa ?” Tanyaku kepada laki-laki itu. Laki-laki berambut panjang itulah yang menemani masa-masa suramku. Tetapi kami hanya bersahabat dan tidak ada yang istimewa didalam hubungan kami.
“Bagaimana keadaan nerakamu ?”
Tempat itu adalah rumahku sendiri. Walau tumah itu mewah, indah dan besar, aku tak pernah menggangap itu rumah. Bagaimana dapat kuanggap rumah jika tidak ada penghuninya ?
Tetapi tidak-apa aku memang lebih senang tidak ada penghuni. Dari pada ada penghuni yang membuatku meneteskan titik – titik air yang tidak berdosa dan indah mengalir jatuh.
Setiap hari otang tuaku pulang lewat dari sore hari, dan lewat dari jam sembilan malam. Dan jika belum mendapati kamar besarku gelap gulita, mereka akan masuk dengan membanting pintu dan mengambil apapun yang membuatku tidak ingin menutup mata.
“Seperti biasa, tidak akan ada yang pernah berubah di neraka busuk itu” Aku berhenti melamun. Aku menatap laki – laki itu, laki – laki itu tersenyum polos. Aku dan laki – laki itu selalu berbeda pendapat tentang ini. Ia selalu saja mengatakan orang tuaku seperti ini pasti ada alasan di balik semua ini.
Laki-laki tampan sebelahku ini bukanlah laki-lakiku. Ia hanya sahabatku karibku. Sebenarnya masih banyak sahabat karibku, hanya saja aku paling dekat dengannya. Aku tahu ia menyukaiku, karena ia pernah menyatakan perasaannya kepadaku, hanya saja, aku tidak ingin seseorang menemaniku pada masa-masa suramku yang sial ini.
“Kau tahu pasti aku akan menjawab apa. Dan aku yaking kau tak ingin mendengarnya lagi” Kata laki-laki tampan itu.
Aku menoleh kearahnya. Ia tersenyum kecil. Aku mendengus kesal. “Tentu saja. Jangan mengatakannya lagi, kalau tidak aku akan mencekikmu” Aku yakin. Setibu persen, bahkan seratus persen, ia pasti akan mengatakan itu tidak seperti yang kukira. Orangtuaku pasti ada alasan di dalam itu.
“Kau mau pulang ?” Tanya laki-laki tampan, Rendy
“Apakah ada tempat lain yang bisa kita tuju ? Kau tahu benar aku benci rumahku sendiri” Kataku menatap langit biru.
“Tentu saja aku tahu. Setiap harinya juga kita sudah mengelili kota kecil ini” Kata Rendy melihat sekeliling tempat duduk kami.
Benar, setiap hari kami sudah mengelilingi kota kecil ini. Aku sudah sangat bosan. Tetapi jauh lebih bosan di neraka sial itu. Aku menyerah kali ini, aku akan pergi kerumah dan mengunci diri di dalam kamar besarku. Kamarku memang besar, segalanya sudah ada di dalam sana. Aku tinggal memilih apa yang ingin ku lakukan. Laptop, computer, psp, NDX, alat-alat make up, boneka, manusia Barbie dan pakaian-pakaiannya, rak buku besar dan tinggi, novel, buku pelajaran, buku cerita, kumpulan cerpen, alat olah raga, lemari perhiasan, kulkas dengan berbagai makanan dan minuman, plastisin lembut dengan berbagai warna, berbagai film-film barat dan drama Cina, Taiwan, Korea, dan berbagai macam kaos, celana jeans, pakaian ribet, rok, gaun-gaun ribet, meja besar dan kursi-kursi imut di tengah-tengah kamar, meja kaca untuk make-up, dan kursi untuk me-make-up, tempat tidur besar, dan laci kecil di kiri kanan kasur, alat musik piano, gitar, biola,
Pasti tidak dapat membayangkan bagaimana besarnya kamarku. Kalau kalian bermain basket, mungkin sebesar gor basket kamarku. Dengan kamar kecil seperempat dari kamar besarku.
“Kau melamun lagi. Jadi kita akan kemana hari ini ?” Suara laki-laki membuyarkan lamunanku,
Aku menoleh sejenak. “Aku akan tinggal di rumah saja. Kurasa memang tidak ada tempat yang bisa kita kunjungi lagi”
“Baiklah, ingin ku antarkan pulang ?” Rendy mulai berdiri dan menggosok pantatnya dengan pelan.
“Tentu saja. Ayo kita pulang” Akupun mulai berdiri dan menggambil tas.
Aku dan Rendy mulai berjalan. Rendy membawa sepeda motor. Ia memboncengkku. Setelah lima menit kemudian, aku sudah sampai di depan nerakaku. Rendy mengucapkan selamat tinggal. Aku mendengus nafas berat. Berjalan perlahan menelusuri jalan terang. Melihat pintu biru. Aku membuka pintunya. Sebelum aku berjalan memasukki kamar itu, seseorang berseru kepadaku.
“Dek Bella udah pulang ? Mau bibi siapin apa ?” Kata seorang perempuan setengah baya yang sedikit gemuk.
Aku menoleh. “Teserahlah bi. Yang penting bisa di makan” Aku mulai memasuki kamar luas dan besar itu. Berjalan maju ke depan. Menatap benda hitam mesar. Dan membuka tutup tuts tuts piano. Aku mulai bermain piano dan menekan beberapa tuts dengan lancar. Orangtuaku tidak akan marah jika aku memainkan piano di malam hari, dan ia tidak akan mungkin manggambil / membuang piano yang sedang ku mainkan.
Aku menutup mata dan menikmati irama yang terdengar di sudut-sudut kamatku yang besar. Aku berhenti menekan tuts tuts piano. Ada yang mengetuk pintu, pikirku dalam hati.
“Dek, makanannya sudah siap, mau bibi letakkan di depan pintu atau bibi masuk ke kamarmu ?” Ooh, bibi Choi.
“Ya bi. Masuk lah” Aku berdiri berjalan menuju arah pintu. Ku buka pintu tuh dan wanita setengah baya menyodorkan papan yang di atasnya terdapat piring nasi campur, mangkok berisi sup jamur, gelas berisi cairan warna merah pekat.
“Itu apa ?” Tanya ku menunjuk kerah gelas bersiri cairan merah pekat itu.
“Terong Belanda. Ibumu menyuruhmu meminum ini untuk minuman siang” Bi Choi tersenyum.
“Ibu ? Yang benar aja dia peduli kesehatanku” Aku gelas berisi jus itu dan melemparnya mengenai dinding di sebelah pintuku. Gelas itu pecah. Aku mengambil papan itu, bi Choi menunduk sedikit kearahku.
Cairan merah yang mengenai dinding putih itu pasti susah hilang, setelah ibuku pulang, dia pasti akan mengoceh dan mulai memarahiku. Aku hanya bisa pura-pura tidak dengar / mulai menekan tuts-tuts piano dengan keras.
Ku letakkan makananku dengan kasar di meja tengah. Mengambil Speaker dan membuka lagu dengan volume paling keras. Melompat menuju ranjang besarku dan melenyapkan badanku di dalam selimut.

OOOOO

“Ahh… Aku ketiduran. Jam berapa ini” Gumamku ketika selesai membuka mataku.
Aku membuka dan menggangkat wajah dengan susahnya. Menatap jam dinding yang ada di kamarku. Jam itu menunjukkan jam 18.00. Berarti jam enam sore.
Seseorang menyerbu kamarku dan mulai berteriak-teriak. “Kau ini ! Dirumah kerjanya tidur saja ! Ayahmu akan bertemu dengan seseorang yang penting hari ini ! Kau malah tidur ! Ganti pakaianmu ! Awas kalau berani pakai kaos dan jeans, dan jangan pernah biarkan warna gaunmu hitam !” Perempuan itu langsung menutup pintuku dengan keras.
Nenek lampir pemilik neraka ini menyuruhku memakai gaun tidak warna hitam ? Aku akan memakai warna putih. Beres. Jika aku turun tidak memakai make-up ia pasti akan memarahiku. Aku akan memakai make-up polos dan mengecat kukuku dengan warna bening.
Aku beranjak dari tempat tidur dan memilih gaun putih. Memakainya dan menatap cermin. Mulai me-make-up wajahku dengan polos. Makai lip-gloss bening, dan mulai mengecat kukuku dengan warna bening. Beres.
Aku keluar dan berlari kecil kebawah. Banyak sekali orang di sini. Perempuan semua memakai gaun-gaun, sedang berbicara dan memegang segelas minuman. Laki-laki memakai kemeja dengan jass, dasi di keranya, dan tak lupa segelas minuman. Aku yang binggung pun belum mau turun kebawah.
Ku pandangi sekitar, mataku berhenti di laki-laki dengan kemeja putih, dasi hitam, dan seperti pakaian dalam hitam, dan jass putih dan memegang cairan berwarna merah. Laki-laki itu, bukannya ? Rendy ?
Untuk apa ia di sini ? Ia mengenal keluargaku ? Banyak sekali pertanyaan yang terbesit di kepalaku. Pada saat ingin turun ke bawah dan menyapa Rendy, aku baru sadar kalau aku belum memakai sandal. Aku berlari kembali ke kamar ku dan mengambil high-heels 10cm berwarna putih dan memakainya. Aku berjalan ke bawah.
Berlari ke arah Rendy dan menyapanya. “Hei, Rendy, apa yang kau lakukan di sini ?”
“Aku ? Orang tua mu belum memberitaumu ? Wah.. Orang tua mu sangat penuh rahasia” Kata Rendy tertawa.
Aku memandangnya kebinggungan. “Apa maksudmu ? Orangtua ku membunyikan apa ?”
“Banyak. Salah satunya, kau akan di jodohkan denganku hari ini” Rendy tersenyum kecil.
Aku yang binggung pun berlari mencari kedua orang tuaku. Ku tatap mereka yang sedang tertawa sambil meneguk gelas berisi bir. “Apa-apaan ini ? Bagaimana bisa kalian mengenal Rendy ?”
Mereka tersenyum tipis. “Kau sudah berganti pakaianmu. Ayok kita mulai”
Aku menatap mereka dengan penuh kekesalan. “Aku masih kuliah ! Jangan berpikir aku ingin bertunangan secepat ini !” Aku berlari naik ke kamar.
Aku mengunci pintuku dan melepaskan high-heels. Berjalan ke depan, menatap benda besar hitam. Membuka tutupnya dan duduk. Aku menekan tuts-tutusnya dan mulai bermain. Lagu yang kumainkan kali ini lagu yang kususun sendiri, memang belum ku buat judulnya. Tapi menurutku ini sudah cukup. Iramanya akan kubuat hidup.
Aku mulai bermain. Aku seperti hanya mendengar satu suara di rumah ini. Hanya suara irama hidup yang ku mainkan ini…
Lagunya segera berakhir. Aku mulai menekan tuts-tuts terakhir…
Kudengar suara tepuk tangan. Banyak sekali yang tepuk tangan. Tapi siapa ? Lalu suara ketukan pintu yang keras.
Aku berdiri dan berlari ke arah pintu dan mulai memutar kunci dan membukanya. Rendy masuk dan langsung mengoceh panjang lebar. Ntah apa yang dibicarakan pun aku tak tau. Yang jelas, bibirnya terbentuk senyum bahagia.
“Pelan-pelan. Apa yang ingin kau bicarakan ?”
“Permainan pianomu sungguh indah ! Aku belum pernah mendengar irama itu. Dan irama itu hidup !”

OOOOO

“Hei, Bella ! Kau mau kemana ?” Seru Rendy berlari kecil mengejarku. Ia menahan lenganku dengan erat. Aku menoleh kearahnya dengan kesal.
“Kau sudah tau semuanya kan ? Kau sudah tau tentang orangtuaku akan meninggalkan aku dengan bibi Choi ? Kenapa kau tak memberi tauku tentang itu ? Kenapa ? Jadi orangtuaku ingin aku segera menikah denganmu karena ia akan pergi ? Lau jahat Rendy, kau jahat! Brengsek!” Aku membentaknya dengan keras, memukul dadanya dan berjalan ke depan dengan muka expresi kesal.
Seseorang menyentuh tanganku dan itu pasti Rendy. Ia kembali menahan tanganku. Dengan sentakkan keras aku melepaskan gemgamannya. Aku kembali berjalan kedepan.
Seseorang menarik tangan tanganku dan menetapkan tubuhku di dalam pelukkannya. Pipiku berada di dadanya. Dan itu Rendy. Jantungku bergerak dua kali lebih cepat. Apa yang terjadi padaku ? Dia memelukku dan mengelus kepalaku dengan pelan, berkali-kali.
“Aku memang tau semuanya, Bella. Orangtuamu melarangku untuk memberi tahu mu tentang penyakit ayahmu. Mereka terus-terusan mencari uang selama ini hanya untuk masa depanmu. Dan, mereka tau bahwa aku mengenalmu dan mengenal dekat denganmu. Dan juga… Mereka tau aku mencintaimu. Kami, maksudku aku dan orangtuamu, saling berkenalan selama 6 bulan. Mereka mempercayaiku untuk merawatmu. Mereka juga memberi tauku tentang penyakit ayahmu. Tentang waktu hidup ayahmu tidak akan lama lagi, tentang mereka akan menitipkanmu dengan bibi Choi jika kau masih tidak ingin menikah deenganku dalam waktu cepat” Rendy mengatakannya sambil mengelus.
Aku menangis dipelukannya…
Satu minggu yang lalu. Tepat empat hari setelah acara pertunanganku dengan Rendy. Aku menerima tentang pertunangannya, karena bagiku, pertunangan bukan sesuatu yang buruk.
Orangtuaku, saat aku sedang berbicara dengan Rendy dan dengan mereka tentang pernikahanku, aku berusaha menolak. Bagaimana mungkin mereka menyuruhku menikah dengan Rendy lima hari setelah hari pertunangan kami ?
Keesokkan harinya, pada saat mereka ingin meyakinkanku untuk segera menikah dengan Rendy, aku bersikeras menolaknya. Tiba-tiba ayahku memegang kepalanya dengan keras. Ibuku segera menelepon rumahsakit dan mendatangkan seorang laki-laki tua. Saat itu pula dokter mengabarkan ayahku tidak dapat diselamatkan. Ternyata ayahku mengalami kanker otak. Ia berusaha keras untuk bekerja dan mencari uang untukku.
Dan ibuku… Ia malah mengatakan kepadaku bahwa ibuu dan ayahku telah bercerai. Hanya masih tinggal satu atap. Sekarang ibuku malah sudah pergi ke luar kota dan kabarnya ia sudah menikah. Benar-benar, bagaimana dapat kupanggil ia ibu lagi ?
Dan sekarang aku sendiri dengan bibi Choi yang menemaniku. Aku menemukan surat yang ditulis tangan oleh ayahku sendiri. Surat itu masihku simpan sampai sekarang. Aku bahkan belum mendapati kertas itu kotor. Aku tidak ingin membuat kertas itu kotor.
Dalam surat itu, isinya : Bella, ayah pasti yakin kamu membenci ayah. Ayah juga membenci diri ayah sendiri. Memarahi kamu setiap hari. Ayah minta maaf karena tidak menceritakan semuanya tentangmu. Dan juga tentang ibumu, ibumu, ia memilih laki-laki lain di banding ayah. Ayah sangat kesepian. Tapi kamu pasti tidak akan bersedia menemani ayah. Ayah minta maaf karena ketidakpedulian ayah denganmu. Sebenarnya ayah peduli, hanya saja, ayah terlalu bekerja keras untuk masa depanmu. Andai saja kanker otak ini tidak ada, kamu pasti akan hidup bahagia dengan ayah.
Ayah kecewa dengan ibumu yang membutuhkan uang ayah. Mungkin ketika kamu membaca surat ini, ayah udah pergi selamanya dari kehidupanmu. Ayah ingin kamu cepat menikah agar ayah dapat melihat anak ayah menikah dengan mata kepala ayah sendiri. Tapi kamu sendiri bersikeras untuk menolak pernikahan itu. Memang konyol karena tergesa-gesa. Dokter memvonis ayah lebih cepat dari yang ayah duga.
Tuhan berkehendak lain tentang kanker otak ayah. Ayah ingin sembuh tetapi Tuhan tidak memperbolehkan. Ayah mencintaimu dan ibumu. Jangan meangis karena ayah, tapi karena ayahlah kamu tersenyum. Jangan benci ayah lagi ya…
Itulah kata-kata terakhir dari ayahku. Aku berencana mencari perempuan yang lebih memilih laki-laki lain dibanding ayahku. Tapi sepertinya ia bersembunyi dariku.
Sekarang hanya sepucuk surat itu yang tersisa dari tulisan tangan ayahku. Aku mencoba bersabar menghadapi segala hal disekitarku.
“Bella, ayo kita pulang sekarang. Berhentilah menangis” Suara Rendy menyentakkanku. Ia melepas pelukan dan merangkulku berjalan kearah motornya. Ia mengantarku pulang dan ia tidak pulang. Ia tinggal di sana, mulai dari sekarang dan selamanya.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar